Cari Blog Ini

Senin, 28 Desember 2020

Hadits tentang Wakalah

 Wakalah dan Haditsnya


Pengertian Wakalah

    Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan, atau pekerjaan wakil. Wakalah mengandung pengertian penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat juga terdapat dalam kata al-hifzhu yang berarti pemeliharaan. Karena itu penggunaan kata wakalah atau wikalah dianggap bermakna sama dengan hifzhun
    Sedangkan secara terminologi, wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.

Dasar Hukum Wakalah

وَكَذَالِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوْا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوْا رَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوْا اَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ اِلَى الْمَدِيْنَةِ فَلْيَنْظُرْ اَيُّهَا اَزْكَى طَعَامًا فَلْيَاْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ اَحَدًا

Artinya:

dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (Q.S. Al-Kahfi:19) 

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنِ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ سَمِعْتُ اَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَتَقَاضَاهُ فَاَغْلَظَ فَهَمَّ بِهِ اَصْحَابُهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ دَعُوْهُ فَاِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا ثُمَّ قَالَ اَعْطُوْهُسِنَّا مِثْلَ سِنِّهِ قَالُوْا يَارَسُوْلُ اللهِ اِلاَّ اَمْثَلَ مِنْ سِنِّهِ فَقَالَ اَعْطُوْهُ فَاِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ اَحْسَنَكُمْ قَضَاءً.
Artinya:
"Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Salamah bin Kuhail aku mendengar Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki yang datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk menagih apa yang dijanjikan kepadanya. Maka para sahabat marah kepadanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah dia karena bagi orang yang benar ucapannya wajib dipenuhi". Kemudian Beliau berkata: "Berikanlah untuknya seekor anak unta". Mereka berkata: "Wahai Rasulullah, tidak ada kecuali yang umurnya lebih tua". Maka Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya, karena sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik menunaikan janji".(HR. Al Bukhari dari Abu Huraira No.2306) (Al-Bukhari, TT)

Menurut Al-Bukhari, Abu Hurairah menceritakan tentang seorang laki-laki yang berpiutang pada Rasulullah SAW berupa seekor unta yang telah berumur 5 tahun. Laki-laki itu datang menemui beliau untuk penyelesaian utang piutang itu.Maka Nabi meiminta (kepada orang yang memelihara unta beliau) agar menyerahkan kepada laki-laki tersebut seekor unta. Ia berusaha mencar unta yang sama umurnya dengan umur unta milik laki-laki tersebut. Namun tidak seekor pun yang sama umurnya. Yang ada hanya unta yang lebih tua dari unta laki-laki tersebut. Lalu beliau perintahkan agar diserahkan saja seekor unta meskipun lebih tua (yang berarti lebih mahal harganya). Maka laki-laki itupun bertanya : “Apakah engkau hendak menyempurnakan hak ku atau engkau hanya mengharap ganjaran dari Allah?” Rasulullah SAW menjawab: “Sesungguhnya yang sebaik-baik kamu adalah orang yang paling bagus dalam membayar (utangnya).
Berdasarkan matan dari Hadis ini  اَعْطُوْهُ (berikanlah/bayarkanlah) dapat kita ketahui bahwa RasulullahSAW meminta kepada sahabat untuk mewakilkan beliau dalam pemberian atau pembayaran hutang. Hukum dari wakalah diambil berdasarkan dari adanya perwakilan oleh sahabat dalam membayarkan hutang RasulullahSAW kepada seorang laki-laki yang datang menemui beliau tersebut. Dalam Hadis yang lain sebagian dinukil dalam kitab fiqh sunah bahwa wakalah bukan hanya diperintahkan oleh Nabi tetapi Nabi sendiri pernah melakukannya. Nabi pernah mewakilkan kepada Abu Rafi‟ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah. 

Teknis Pelaksanaan Wakalah

Dalam melaksanakan wakalah, pastinya ada rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
  1. Orang yang mewakilkan (muwakkil), syaratnya memiliki hak untuk bertasharruf (pengelolaan) pada bidang- bidang yang didelegasikannya, mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf.
  2. Orang yang diwakilkan (al-wakil), syaratnya memiliki kecakapan akan suatu aturan- aturan yang mengatur proses akad wakalah ini, memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. 
  3. Objek yang diwakilkan (taukil), syaratnya sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa, tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya, dan tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain.
  4. Shighat, dengan dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa dari awal akad hingga akhir, isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa, tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.
Untuk pelaksanaan wakalah itu sendiri ada beberapa langkah.


Dalam fatwa DSN No 10/DSN-MUI/IV/2000 mengenai wakalah, menjelaskan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Dalam fatwa DSN No 10/DSN-MUI/IV/2000 juga dijelaskan jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 
Akad wakalah digunakan dalam perbankan syari'ah seperti reksa dana syari'ah, pembiayaan rekening koran syari'ah, Letter of Credit (L/C) impor syari'ah, Letter of Credit (L/C) ekspor syari'ah, asuransi syari'ah, transfer uang, kliring, RTGS, inkaso, pembayaran gaji, kartu kredit, transaksi sertifikat bernilai (awraaq maaliyah) seperti saham, obligasi, sukuk dll dimana bank menjadi perantara, pembayaran rutin lainnya seperti zakat, shodaqoh, pembayaran tagihan dan lain-lain.

Opini Pribadi

Wakalah merupakan salah satu kegiatan sosial yang berguna untuk membantu dan menolong sesamanya yang sedang kesusahan. Jadi, wakalah adalah salah satu kegiatan muamalah yang bertujuan untuk tolong-menolong dan bukan untuk mencari keuntungan komersial semata. Jika ada seseorang yang memang tidak mampu melaksanakan tugasnya bisa didelegasikan kepada orang yang mampu dalam melaksanakan suatu tugas tersebut. Dan segala sesuatu tetap sah jika tidak mengandung unsur yang dilarang dalam Islam.

Hadits tentang al-Sharf

 HADITS TENTANG AL-SHARF


Pengertian al-Sharf

Al-sharf secara etimologi artinya al-ziyadah (penambahan), al-‘adl (seimbang), penghindaran atau transaksi jual beli. Secara terminologi, as-sharf dapat diartikan sebagai jual beli suatu valuta dengan valuta asing yang mana penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama secara tunai. Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta asing. Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini. Valuta asing disini maksudnya adalah mata uang luar negeri seperti dolar Amerika, Poundsterling, Inggris, Ringgit Malaysia dan sebagainya. Sharf juga bisa diartikan sebagai jual beli uang logam dengan uang logam lainnya. Misalnya jual beli dinar, emas dan dirham perak.

Dasar Hukum al-Sharf

Dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara jelas tentang jual beli as-sharf, namun dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 275 dijelaskan tentang jual beli secara umum:
...وَ اَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَ حَرَّمَ الرَِبَا...
Artinya:
"... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (Q.S. Al-Baqarah:275)
Jadi, pada ayat tersebut menjelaskan bahwa seluruh jual beli pada dasarnya halal dan boleh selama tidak mengandung empat unsur yang dilarang. Selain itu jual beli itu dihalalkan sampai ada dalil yang mengatakan bahwa jual beli itu haram. Maka dari itu as-sarf termasuk jual beli yang halal dan boleh dilakukan, karena sampai saat ini belum ada dalil yang menjelaskan tentang larangan al-sharf.

قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: اَلذِّهَبُ بِالذِّهَابِ, وَ الْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَ الْبُرُّ بِالْبُرِّ, وَ الشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ, وَ التَّمْرُ بِالتَّمْرِ, وَ الْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلاً بِمِثْلٍ, سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ, يَدًابِيَدٍ, فَاِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْاَصْنَافِ, فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ, اِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Artinya:
"Telah bersabda Rasulullah SAW: emas (hendaklah dibayar) dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama-sama dan sejenis, haruslah dilakukan secara kontan (yad bi yad), maka apabila berbeda jenisnya juallah sekehendak kalian dengan syarat kontan."
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. tidak melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, asalkan sama jumlahnya, sejenis barangnya, dan dibayar secara kontan atau tunai. Misalkan terpaksa untuk melakukan penukaran berbeda jenis, maka diperbolehkan asalkan tunai (kontan). Konsep pertukaran ini bisa disamakan dengan sistem al-sharf.

Berdasarkan ijma', ulama sepakat membolehkan transaksi al-sharf dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan. 
  2. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa. 
  3. Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang. 
  4. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan. 
  5. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak kepemilikan.

Rukun dan Syarat Al-Sharf

Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu : 
  1. Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli valuta 
  2. Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar) 
  3. Shighah yaitu ijab dan qabul 
Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu : 
  1. Valuta (sejenis atau tidak sejenis) apabila sejenis, harus ditukar dengan jumlah yang sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan nilai tukar. 
  2. Waktu penyerahan (spot). 
  3. Al-Tamatsul (Sama rata) 
  4. Tidak mengandung akad khiyar syarat

Al-Sharf yang Diperbolehkan

Batasan-batasan pelaksanaan valuta asing yang didasarkan pada hadits-hadits yang memperbolehkan jual beli valuta asing yaitu:
  1. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai, artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang secara bersamaan.
  2. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi. 
  3. Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya A setuju membeli barang dari B hari ini, dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang. Hal ini tidak diperbolehkan karena selain untuk menghindari riba, juga karena jual beli bersyarat itu membuat hukum jual beli menjadi belum tuntas.
  4. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan. 
  5. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak milik (bai’ ainiah).
Pendapat madzhab Syafi'i memperbolehkan suatu transaksi dengan mata uang dirham yang tengah berlaku walaupun ditukar dengan dirham biasa, sedangkan dirham sebagai mata uang negara yang mempunyai cap, maka transaksi semacam ini dibolehkan. Kemudian ia berkata berlakunya transaksi dengan mempertukarkan mata uang yang tidak sejenis tidaklah ada halangannya, asalkan secara tunai.
Namun demikian apakah diperbolehkan mempertukarkan mata uang yang sama namanya tetapi berbeda negara yang memilikinya seperti dinar Marokko dengan dinar Maghribi. Dalam hal ini Imam al-Subki tidak menemukan adanya riwayat yang melarang tetapi pendapat yang terkuat adalah membolehkannya.
dapat dipahami bahwa tukar menukar uang yang satu dengan uang yang lain diperbolehkan. Begitu pula memperdagangkan mata uang asalkan nama dan mata uangnya berlainan atau nilainya saja yang berlainan, namun harus dilakukan secara tunai. 

Dampak al-Sharf Bagi Suatu Negara

Transaksi jual beli valuta asing pada umumnya diselenggarakan di pasar valuta asing, money changer, bank devisa dan perusahaan bisnis valas. Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara, antara lain menimbulkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah kegiatan jual beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai mata uang, karena para spekulah sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu negara berfluktuasi secara tajam. Bila nilai mata uang anjlok, maka secara otomatis, rusaklah suatu negara tersebut ditandai dengan naiknya harga barang-barang atau terjadinya inflasi secara tajam. Sedangkan inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan dalam ekonomi Islam. Akibat lainnya adalah goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada bahan impor yang pada gilirannya mengakibatkan kesulitan operasional dan sering menimbulkan PHK dimana-mana. Demikian pula, suku bunga pinjaman perbankan menjadi tinggi. APBN harus direvisi karena disesuaikan dengan dolar. Defisit APBN pun semakin membengkak secara tajam.

Opini Pribadi

Menurut saya, dengan adanya sistem pertukaran as-sharf ini  mampu memudahkan urusan seseorang, apalagi yang kegiatannya sering pulang pergi ke luar negeri dan pastinya membutuhkan biaya hidup di luar negeri yang mana mata uangnya pasti berbeda. Konsep as-sharf ini sangat cocok diterapkan untuk era di zaman sekarang ini, karena sebagian besar orang membutuhkannya.  Asalkan dalam pertukaran tersebut tidak dilandasi dengan sesuatu yang diharamkan Islam, maka diperbolehkan.



Senin, 21 Desember 2020

Hadits tentang Salam dan Istishna'

Salam dan Istishna'

1. As-Salam

Pengertian

Secara bahasa, as-salam atau as-salaf berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.
Para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan al-mahawi’ij yang artinya “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu.

Landasan Hukum

Dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al-Baqarah ayat 282.
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُسَمًّى فَكْتُبُوْهُ
Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al-Baqarah. QS. 2 : 282). 

اَشْهَدُ اَنَّ السَّلَفِ الْمَضْمُوْنَ اِلَى اَجَلٍ مُسَمَّى قَدْ احله الله فِي الْكِتَابِ وَ اُذُنَ فِيْهِ, قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ اَلْاَيَة. رَوَاه الشَّافِعِي وَ الطَّبَرِيْ عَبْدُ الرَّزَاق وَ ابْنُ اَبِي شَيْبَة وَ الْحَاكِم وَ الْبَيْهَقِي وَ صَحِّحَهُ الْاَلْبَانِي
Artinya: "Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf yang terjmain hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (H.R. Asy-Syafi'i, at-Thobary, Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah, al-Hakim dan al-Baihaqy, dan dishohihkan oleh al-Albaniy)
Di antara dalil yang menguatkan penafsiran sahabat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu di atas ialah akhir dari ayat tersebut yang berbunyi:

وَلَا تَسْاَمُوْا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلَى اَجَلِهِ ذَلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ وَ اَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَ اَدْنَى اَلَّا تَرْتَابُوْا اِلَّا اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً جَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَا
Artinya: "Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu'amalah itu) kecuali bila mu'amalah itu berupa perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tiada dosa atasmu bila kamu tidak menulisnya." (Q.S. Al-Baqarah:282)


عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا - قَالَ : قَدِمَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَ السَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: (مَنْ اَسْلَفَ فِيْ تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ, اِلَى اَجَلٍ مَعْلُوْمٍ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَ لِلْبُخَرِي
Artinya: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata, "Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui." (H.R. Muttafaqun 'alaih)

Berdasarkan ijma', semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam.

Rukun dan Syarat Salam

Salam memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:
  1. Orang yang berakad (muslam atau pembeli dan muslam ilaih atau penjual). Adapun syarat orang yang berakad harus baligh dan berakal.
  2. Objek akad dalam jual beli salam (ra’sul mal atau modal/uang dan muslam fiihi atau barang), yaitu barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya, harganya dan jelas waktu penyerahannya ketika akad berlangsung. Jadi pembayaran dilakukan pada waktu akad, karena jual beli ini berttujuan untuk membantu pedagang yang tidak punya modal.
  3. Sighat atau ijab dan qabul (serah terima). Pada ijab dan qabul haruslah dengan pernyataan yang jelas dan dipahami kedua belah pihak. Tidak mengandung makna ganda.
Ada beberapa perbedaan antara jual beli salam dengan jual beli biasa, hal ini dijelaskan Fathi ad-Durani sebagaimana yang dikutip oleh Nasrun Haroen yaitu:
  1. Harga barang dalam jual beli salam tidak boleh dirubah dan harus diserahkan seluruhnya pada waktu akad berlangsung. Berbeda dengan jual beli biasa, pembeli boleh saja membayar barang yang dia beli dengan cara utang kepada penjual.
  2. Harga yang diserahkan berbentuk uang tunai, bukan berbentuk cek mundur. Jika berbentuk cek mundur maka jual belinya batal, karena tidak tercapai tujuan jual beli salam yaitu untuk membantu produsen.
  3. Menurut Hanafiyah, harga beli boleh dijamin oleh seseorang yang hadir sewaktu akad dan penjamin ini bertanggung jawab membayar ketika itu juga. Akan tetapi menurut Zufar ibn Huzail pakar fiqh Hanafi, harga itu tidak boleh dijamin oleh seseorang, karena adanya jaminan akan menunda pembayaran yang harus dibayarkan tunai ketika akad. (Haroen, 2000: 151)

Teknik Pelaksanaan Salam

Praktek salam di bank syariah, bank membayar harga barang pada saat akad. Bank kemudian akan menerimanya pada waktu yang ditentukan melalui wakil yang ditunjuknya. Bank kemudian menjual kembali barang tersebut dengan harga yang ditangguhkan lebih tinggi dari harga awal melalui model salam. Maka bank menerima keuntungan.
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.
Syarat utama salam adalah barang atau hasil produksi yang akan diserahkan kemudian tersebut dapat ditentukan spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Apabila ternyata nantinya barang yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan di awal maka nasabah harus bertanggung jawab dengan cara menyediakan barang sejenis yang sesuai dengan spesifikasi atau mengembalikan seluruh uang yang telah diterima. 

2. Istishna'

Pengertian

Istishna' secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Adapun istishna' secara terminologi adalah transaksi terhadap barang dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), istishna' adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan penjual.
Jual beli istishna’ menyerupai jual beli salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan di awal, di tengah atau di akhir, baik dengan cara kontan atau dengan beberapa kali (termin) pembayaran dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan.

Landasan Hukum

Dasar hukum jual beli istishna' adalah sama dengan jual beli salam, karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barang-barang yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual beli istishna' barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi.
Karena istishna’ merupakan akad jual beli, maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada jual beli juga berlaku pada istishna’. Atas dasar ini, maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istishna' itu tidak boleh, karena istisna merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan.
Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istihsan karena alasan berikut:
  1. Masyarakat telah mempraktikkan istishna’ secara luas tanpa ada keberatan.
  2. Dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama.
  3. Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Dalam hadits dinyatakan bahwa:

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ اَرَادَ اَنْ يَكْتُبَ اِلَى الْعَجَمِ فَقِيْلَ لَهُ اِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُوْنَ اِلَّا كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتَمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ. قَالَ: كَاَنَّى اَنْظُرُ اِلَى بَيَاضِهِ فِيْ يَدِهِ. (رَوَاهُ مُسْلِم  
Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR. Muslim)

Perbuatan Nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. Bahkan istishna' sesuai kaidah fiqh:
اَلْاَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِ الْاِبَاحَةُ اِلَّا اَنْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا 
Artinya: "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

Rukun dan Syarat Istishna'

Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu : 
  1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan. 
  2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman), dan
  3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.
Sedangkan syarat istishna’ dapat disebutkan sebagai berikut:
  1. Kedua belah pihak yang bertransaksi berakal, cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
  2. Ridha/kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
  3. Shani’ menyatakan kesanggupan untuk membuat barang.
  4. Apabila bahan baku berasal dari mushtasni’, maka akad ini bukan lagi istishna’,tetapi berubah menjadi ijarah.
  5. Apabila isi akad mensyaratkan shani’ hanya bekerja saja, maka akad ini juga bukan lagi istishna’, tetapi berubah menjadi Ijarah.
  6. Mashnu’ (barang yang dipesan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya.
  7. Barang yang dipesan tidak termasuk kategori yang dilarang syara’ (najis, haram/tidak jelas) atau menimbulkan kemudharatan (menimbulkan maksiat).

Teknis Pelaksanaan Istishna'


Syarat utama istishna’ adalah sama dengan pembiayaan salam yakni spesifikasi barang dapat ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna’ dilakukan untuk membiayai pembangunan konstruksi. Contoh, Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak Badu melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai dikerjakan.
Melalui fasilitas istishna’, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka produk tersebut statusnya menjadi milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pemberian fasilitas istishna‘ tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. 
Dalam praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna‘ paralel atau istishna‘ wal murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi istishna‘ wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna‘) dengan harga jual (murabahah atau dari hasil sewa (ijarah)

Pendapat Pribadi

Menurut saya, antara salam dan istishna' sama-sama dibolehkan, selama tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam jual beli Islam. Perbedaan antara keduanya hanya pada penyerahan uang dan ketersediaan barang yang diakadkan. Pada sistem salam, penyerahan uang terhadap barang yang dipesan harus dibayarkan di awal perjanjian, sedangkan pada sistem istishna' penyerahan uang boleh di awal, di tengah, maupun di akhir setelah akad selesai. Ketersediaan barang pada sistem salam adalah sudah ada meskipun tidak ada di tempat si penjual, sedangkan istishna' barang yang diakadkan belum ada dan belum diproduksi. Meskipun demikian, kedua sistem jual beli ini sangat membantu masyarakat yang kurang mampu dalam hal perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang memang harus dibeli. Sehingga, jual beli salam dan istishna' bisa diterapkan dalam kegiatan perekonomian sehari-hari untuk membantu sesama manusia yang sedang membutuhkan, tanpa adanya pihak yang dirugikan.




Senin, 14 Desember 2020

Hadits tentang Ijarah

 HADITS TENTANG IJARAH


Pengertian Ijarah


    Al-Ijarah merupakan bentuk masdar dari أَجَارَ- يُجِيْرُ dari kata al-Ajru yang berarti al-Iwadh (ganti). Dari sebab itu ats-tsawab (pahala) dinamai ajru atau upah. Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Menurut syara’ berarti melakukan akad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu pula. 
    Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain. Sebab, semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.
    Tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang definisi ijarah, tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas dan memperjelas tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan kepemilikan. Dalam bahasa yang lain, ijarah adalah sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuannya, dapat diserahterimakan, boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (Samsuddin, 2010:209), seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.

Hadits tentang Ijarah


 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: وَ اسْتَاءْجَرَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ اَبُوْ بَكْرِ رَجَلًا مِنْ بَنِي الدَِيْلٍ, ثُمَّ مِنْ بَنِى عَبْدِ بْن عَدِي, هَادِيًاخَرِيْتًا  الخريت: الْمَاهِرُ بِالْهِدَايَةِ قَدْ غَمس يَمِيْنِ حلف فِى آلِ الْعَاص بْن وَائِل, وَ هُوَ عَلىَ دِيْنِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ, فَاَمَنَاهُ, فَدَفَعَا اِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا, وَوَعَدَاهُ غَارَ ثُوْرِ بَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ, فَاَتَاهُمَا بَرَاحِلَتَيْهِمَا صَبِيْحَةِ لَيَالٍ ثَلاَثٍ فَارْتحلَا, وَانْطَلَقَ مَعَهُمَا عَامِر بْن فُهَيْرَة , وَالدَّلِيْلُ الدِّيْلي, فَاَخَذَ بِهِمْ اَسْفل مَكَّة, وَهُوَ طَرِيْق السَّاحل - رواه البخاري

Artinya: 
“Dari Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai.”
(H.R. Bukhari).  

Dalam hadis di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat mereka. 

حَدَّثَنَا اِبْنُ طَاوُس عَنْ اَبِيْهِ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: اِحْتَجِمْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ اعْطِى الْحُجَامَ اُجْرَهُ - رواه البخاري

Artinya: 
”Hadis dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a dia berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya.” (H.R.Bukhari) 

Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah. 

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَعْطُوا الْاَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ - رواه ابن ماجه

Artinya :
"Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering." (H.R Ibnu Majah)
 
Hadis di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan. Berdasarkan pertimbangan sanad yang dimiliki oleh hadis tentang al-ijarah ini, maka dapat disimpulkan bahwa matan hadis tersebut berkualitas hasan lidzatihi karena perawinya berada pada thabaqat/tingkatan keempat, yakni shaduq.

Teknis Pelaksanaan Ijarah


  1. Adanya rukun dan syarat yang harus dipenuhi, yaitu (1) aqid (orang yang akad), syaratnya harus baligh, berakal dan tidak terpaksa atau didasari kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut; (2) ma'qud 'alaihi ujrah dan manfaatnya, syaratnya harus diketahui, baik dengan langsung dilihat ataupun disebutkan kriterianya secara lengkap semisal ‘seratus ribu rupiah’. Manfaat dari ujrah adalah barang yang disewakan harus mutaqawwamah (bernilai secara syariat), maklum, mampu diserahkan, manfaat dirasakan oleh pihak penyewa, manfaat yang diperoleh pihak penyewa bukan berupa barang, mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisahan, kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’, objek transaksi akad itu (barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita; dan (3) sighat (kalimat yang digunakan transaksi) seperti perkataan pihak yang menyewakan “Saya menyewakan mobil ini padamu selama sebulan dengan biaya/upah satu juta rupiah.” Dan pihak penyewa menjawab “Saya terima. Sebagaimana transaksi-transaksi yang lain, di dalam ijarah juga disyaratkan shigat dari pihak penyewa dan pihak yang menyewakan dengan bentuk kata-kata yang menunjukan terhadap transaksi ijarah.
  2. Teknis pelaksanaan ijarah dalam perbankan syariah


Berdasarkan SOP yang disampaikan oleh Bank Syari’ah, tahapan pelaksanaan ijarah adalah sebagai berikut:
  • Adanya permintaan untuk menyewakan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh nasabah kepada bank syari’ah,
  • Wa’ad antara bank dan nasabah untuk menyewa barang dengan harga sewa dan waktu sewa yang disepakati.
  • Bank syari’ah mencari barang yang diinginkan untuk disewa oleh nasabah.
  • Bank syari’ah menyewa barang tersebut dari pemilik barang.
  • Bank syari’ah membayar sewa di muka secara penuh.
  • Barang diserahterimakan dari pemilik barang kepada bank syari’ah.
  • Akad antara bank dengan nasabah untuk sewa.
  • Nasabah membayar sewa di belakang secara angsuran.
  • Barang diserahterimakan dari bank syari’ah kepada nasabah,
  • Pada akhir periode, barang diserahterimakan kembali dari nasabah ke bank syari’ah, yang selanjutnya akan diserahterimakan ke pemilik barang.
Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan akad sewa-menyewa terdiri dari sewa murni dan sewa yang diakhiri dengan pemindahan hak kepemilikan atau dikenal dengan ijarah muntahiya bit tamlik. Ijarah muntahia bit tamlik (IMBT) pada dasarnya merupakan perpaduan antara sewa menyewa dengan jual beli. Semakin jelas dan kuat komitmen untuk membeli barang di awal akad, maka hakikat IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. 
Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT terletak dari adanya opsi untuk membeli barang dimaksud pada akhir periode. Sedangkan dari sisi jual beli, perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan manfaat barang dimaksud terlebih dahulu melalui akad sewa (ijarah), sebelum transaksi jual beli dilakukan. 

Opini Pribadi


Jadi, dalam pembahasan mengenai ijarah ini, lebih menitikberatkan pada kebermanfaatan sosial. Meskipun, dalam transaksi ijarah, terdapat keuntungan berupa uang, namun sistemnya berbeda dengan bagi hasil. Sistem ini hanyalah pertukaran antara suatu jasa atau manfaat dengan dayn. Bukan berarti satu pihak mendapatkan keuntungan, yang pihak lain dirugikan, karena keuntungan yang didapatkan itu merupakan sebuah hutang yang harus dibayar dari benda atau jasa yang telah diambil manfaatnya itu. Sehingga, suatu benda atau jasa hanyalah diambil manfaatnya, bukan dengan fisik atau wujud dari benda atau jasa tersebut.

Rabu, 02 Desember 2020

Hiwalah beserta haditsnya

 HADITS TENTANG HIWALAH



Pengertian Hiwalah


Pengertian hiwalah ditinjau dari segi etimologi berarti al intiqal dan al tahwil yaitu memindahkan dan mengoper (Sabiq, 1989: 217). Secara bahasa hiwalah diambil dari kata tahawwul yang artinya berpindah. Dinamakan demikian karena akad ini memindahkan utang dari tanggungan seseorang menjadi tanggungan orang lain. Secara etimologi hiwalah juga berarti pengalihan, perpindahan, perubahan kulit dan memikul sesuatu di atas pundak (Hasan, 2003: 219).
 
Secara terminologi, dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa hiwalah yaitu “Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan pihak pertama kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran utang atau membayar utang dari atau kepada pihak ketiga, karena pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan pihak pertama berutang kepada pihak kedua atau karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua berutang kepada pihak pertama. Perpindahan itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak didasarkan kesepakatan bersama.” (Dahlan, 1997: 559) 

Jadi, dapat disimpulkan bahwa hiwalah yaitu pengalihan utang, baik berupa hak untuk mengalihkan pembayaran atau kewajiban untuk mendapatkan pembayaran utang, dari orang yang mempunyai utang dan piutang dengan disertai rasa percaya dan kesepakatan bersama. 

Hadits tentang Hiwalah

Pelaksanaan hiwalah (pemindahan utang) menurut Nabi Muhammad SAW adalah dibolehkan, ini sesuai dengan hadits beliau : 

حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْنُ يُوْسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَان عَنْ ابْن ذَكْوَان عَنْ الاعْرَجِ عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ اْلغَنِيَّ ظُلْمٌ وَ مَنْ اُتْبِعَ عَلىَ مَلِيِّ فَلْيَتَّبِع
Artinya:
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A'raj dari Abi Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih (terima pengalihan tersebut)(H.R. Bukhari dan Muslim, 1981: 683) 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يِحْيَى قَالَ قَرَاْتُ عَلَى مَالِكِ عَنْ اَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْاَعْرَجِ عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَ اِذَا اُتْبِعَ اَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيْءِ فَلْيَتَّبِعْ. حَدَّثَنَا اِسْحَق بْن اِبْرَاهِيْم اَخْبَرَنَا عِيْسَى بْنُ يُوْنُس ح  و حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْن رَافِعٍ, حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَاق قَالَا جَمِيْعًا حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْن مُنَبِّه عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Artinya:
"Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; saya baca di hadapan Malik; dari Abu Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mengulur-ulur waktu pembayaran hutang bagi yang mampu adalah kezaliman, dan jika piutang salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang kaya, maka terimalah." Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq semuanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti hadits di atas." (HR. Muslim No. 1564) (Muslim, n.d.). 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ مَسْلَمَة الْقَعْنَبِيِّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ اَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْاَعْرَجِ عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَ اِذَا اُتْبِعَ اَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ
Artinya:
"Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa'nabi, dari Malik, dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Penangguhan orang yang kaya (dalam melunasi hutang) adalah kezaliman, dan apabila salah seorang di antara kalian diikutkan (hutangnya dipindahkan, hiwalah) kepada orang yang kaya, hendaknya ia mengikuti!" (HR. Abu Daud No. 3345) (as-Sajastani, 202AD). 

حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْن بَشَّارِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَن بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَان عَنْ اَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْاَعْرَجِ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَ اِذَا اُتْبِعَ اَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيِّ فَلْيَتَّبِعْ قَالَ وَ فِي الْبَابِ عَنْ ابْن عُمَرَ وَ الشَّرِيْدِ بْنُ سُوَيْد الثَّقَفِي
 
Artinya:
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Penundaan orang kaya dalam membayar hutang adalah kezaliman, jika seseorang dari kalian melimpahkan hutang kepada orang kaya, hendaklah orang kaya itu menanggungnya." Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Ibnu Umar dan Syarid bin Suwaid Ats Tsaqafi." (HR. Tirmidzi No. 1308) (Al-albany, TT).

Dilihat dari segi sanad:

Periwayatan pada Hadis Hawalah memiliki jalur periwaya yang berbeda-beda juga, pada Hadis Al-Bukhari Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, Rasulullah SAW bersabda… Pada Hadis Muslim Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; saya baca di hadapan Malik; dari Abu Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda… Pada Hadis Abu Daud Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa'nabi, dari Malik, dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda… Pada Hadis Tirmidzi Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda… Dari keempat hadis tersebut tampak jelas perbedaan jalur periwayatannya khususnya pada periwayat terakhir, antara Muhammad bin Yusuf, Yahya bin Yahya, Abdullah bin Maslamah Al Qa'nabi, dan Muhammad bin Basysyar.

Dilihat dari segi kualitasnya:

Hadis Al-Bukhari kualitasnya Shahih, Hadis Muslim kualitasnya juga Shahih, Hadis Abu Daud kualitasnya ًعى ُسكت dan terakhir Hadis Tirmidzi dalam matan Hawalah ini adalah Hasan Shahih. 

Asbabul wurud:

Pada dasarnya sebab munculnya hadis hawalah ini ada kaitannya dengan asbabul wurud hadis kafalah, akan tetapi penjelasan akan terbagi dua , yang pertama yaitu tentang keharusan segera membayar hutang (oleh ahliwaru) atau menjaminnya sebelum disholatkan fardhu kifayah dan dikubur, dengan yang kedua yaitu bolehnya menerima bantuan dari orang lain, baik secara normal maupun dalam keadaan berhutang. Karena pada akhirnya di zaman Rasulullah SAW, beliaulah yang turut serta melunasi utang para sahabat yang telah meninggal dunia. Ada hadis yang artinya “ Barang siapa diberikan suatu (pemberian ) tanpa dimintanya dan tidak pula (si pemberi) mencari kemuliaan ( istisyraf) maka sesungguhnya pemberian itu rezeki dari Allah, maka hendaklah dia menerimanya dan janganlah dia menolaknya.” Asbabul Wurud Hadis ini seperti yang tercantum dalam al Jami‟ul Kabir dari Abdullah ibnu Ziyad bahwa Umar ibnu Khattab memberikan uang sebesar seribu dinar kepada Said ibnu Amir. Said berkata: Aku tidak membutuhkan uang yang diberikan itu, dan berikanlah kepada orang lain yang lebih membutuhkannya daripadaku. Maka Umar berkata: Jika engkau mau terimalah, jika engkau enggan tinggalkanlah. Karena Rasulullah SAW pernah memberikan suatu pemberian kepada aku dan aku menjawabnya seperti jawabanmu itu. Menanggapi sikapku itu Rasulullah bersabda: Barang siapa diberi satu pemberian... dst (Addamsyiqi, 2011). 

Pada hadis di atas, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya/mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihiwalahkan (muhal alaih). 

Rukun dan Syarat Hiwalah

Rukun dan syarat hiwalah menurut hanafiah adalah :
  1. Muhil, yaitu orang yang memindahkan utang. Ia berutang pada seseorang dan mempunyai piutang pada seseorang lalu, ia memindahkan pembayaran utangnya atas orang yang berutang padanya (Syafi’1, 1982: 125). Syarat-syaratnya adalah cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq, berakal, tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (Mumayyiz), ada persetujuan (ridho), Jika pihak Muhil ada paksaan untuk melakukan hiwalah, maka akad tidak sah (Zuhaili, 1989, 4191) Persyaratan dibuat berdasarkan pertimbangan, bahwa sebagian orang keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajiban untuk membayar utang dialihkan kepada orang lain, meskipun pihak lain itu memang berutang kepadanya, karena itu ridho muhil mesti ada (Hasan,: 223).
  2. Muhal ‘alaih adalah orang yang dihiwalahi (orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah), ia adalah orang yang mempunyai utang orang yang pertama (muhil), orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah. Syarat-syaratnya adalah (Zuhaili, 1989, 4191) sama dengan muhil.
  3. Muhal adalah orang yang menerima hiwalah atas hiwalah muhil, ia merupakan orang yang berpiutang pada pihak pertama (muhil). Syarat-syaratnya (Zuhaili, 1989:4191) adalah cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baliq, berakal, tidak sah hiwalah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (Mumayyiz), ada persetujuan (ridho). Jika pihak muhil ada paksaan untuk melakukan hiwalah, maka akad tidak sah.Sebagian pendapat mengatakan bahwa yang berhak rela (rihdo), adalah muhtal dan muhil, bagi muhal ‘alaih rela atau tidak akan mempengaruhi sahnya hiwalah (Ruysd, t.t:224).
  4. Adanya utang, yaitu utang muhtal kepada muhil dan utang muhil kepada muhal ‘alaih. Syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan, ialah sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang sudah pasti (Zuhaili, 1989, 4191), kedua utang yang dialihkan adalah sama, baik jenisnya maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, jumlahnya (Ruysd, t.t:224).
  5. Shighat hiwalah, adalah ijab dan qobul. Ijab dari muhil dengan kata- katanya “Aku menghiwalahkan utangku kepada si Anu”. Dan Qobul adalah dari muhal ‘alaih dengan kata-katanya “ Aku terima hiwalah engkau” (Zuhaili, 1989: 4191).

Teknis Pelaksanaan Hiwalah


Take over merupakan proses perpindahan kredit nasabah di bank konvensional menjadi pembiayaan dengan prinsip jual beli yang berdasarkan syariah. Pada proses take over ini, bank syariah sebagai pihak yang akan melakukan take over terhadap kredit yang dimiliki calon nasabahnya di bank konven-sional. Bertindak sebagai wakil dari calon nasabahnya untuk melunasi sisa kredit yang terdapat di bank asal, mengambil bukti lunas, surat asli agunan, perizinan, polis asuransi, sehingga barang (yang dikredit-kan) menjadi milik nasabah secara utuh. Kemudian, untuk melunasi hutang nasabah kepada bank syariah, maka nasabah tersebut menjual kembali (barang yang dikreditkan) tersebut kepada bank syariah. Kemudian, bank syariah akan menjual lagi kepada nasabah dengan pilihan kombinasi akad yang tertera dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 31/DSN-MUI/VI/2002 ten-tang Pengalihan Hutang.

Penerapan kontrak hawalah dalam sistem perbankan biasanya di tetapkan pada hal-hal berikut: 
  1. Faktoring atau anjak piutang, di mana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang dan menagihnya dari pihak ketiga itu.
  2. Post-dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayar dulu piutang tersebut. 
  3. Bill discounting, secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah, hanya saja, dalam Bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak di dapati dalam kontrak hawalah.

Kesimpulan (Opini Pribadi)

Berdasarkan penjelasan mengenai hiwalah di atas, saya berpendapat bahwa hiwalah merupakan pengalihan hutang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang dengan tidak berat hati menerima hiwalah tersebut dengan ketentuan-ketentuan tertentu, serta disetujui oleh pihak muhal 'alaih dan dengan sepengetahuan muhal. Diperbolehkannya hiwalah ini karena bertujuan untuk membantu sesama manusia, sebagai bentuk kepedulian sosial, yang mana si penghutang merasa kesulitan membayar hutangnya, sehingga dialihkan kepada yang lebih mampu untuk membayar hutangnya dengan mengalihkan hutangnya itu kepada seseorang tersebut. Namun, hiwalah ini hanya dapat dilakukan jika hutangnya berupa uang, tidak boleh berupa barang/benda.

Wallahu a'lam...


Senin, 30 November 2020

Hadits tentang 'Ariyah

 HADITS TENTANG 'ARIYAH

Al-'ariyah berasal dari bahasa Arab اَلْعَارِيَةُ diambil dari kata َعَار yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat, al-'ariyah berasal dari kata التَّعَاوُر yang artinya sama dengan التَّنَاوُل اَوْ التَّنَاوُب artinya saling tukar-menukar, yaitu dalam tradisi pinjam-meminjam. 

Sedangkan menurut istilah, 'ariyah dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnya tetap dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

Landasan Hukum 'Ariyah

Q.S. Al-Ma'idah: 2
 وَتَعَاوَنُوا عَلىَ الْبِرِّ وَ التَّقْوَى - وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى الْاِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ - وَالتَّقُوا اللهَ - اِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya:
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya." (Q.S. Al-Ma'idah:2)

وَعَنْ يَعْلَى بْنُ اُمَيَّة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م.: اِذَا اَتَتْكَ رُسُلِي فَاَعْطِهِمْ ثَلَاثِيْنَ دِرْعًا, قُلْتُ: يَا رَسُوْلُ اللهِ! اَعَارِيَةٌ 
(مَضْمُوْنَةٌ اَوْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ؟ قَالَ: بَلْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ. (رَوَاهُ اَحْمَد, وَ اَبُو دَاوُد, وَ النَّسَائِي, وَ صَحِّحَهُ اِبْنُ حِبَّان
Artinya:
"Dan dari Ya'la Ibnu Umayyah radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah SAW. bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: "Wahai Rasulullah, ataukah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan?" Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." (H.R. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan disahihkan Ibnu Hiban)

Dalam konteks hadits tersebut terdapat dua kata yang menunjukkan arti yang berbeda, yakni madhmunah dan mu'adah. Yang dimaksud dengan madhmunah adalah benda yang dipinjam akan diganti (dibayar) dengan nilainya apabila rusak. Sedangkan yang dimaksud dengan kata mu'adah adalah benda pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan wujud bendanya secara utuh, tidak diganti dengan nilainya apabila rusak (barang pinjaman diperbaiki terlebih dahulu apabila rusak, bukan diganti dengan barang lain atau dibayar harganya).

Rukun dan Syarat 'Ariyah

Secara umum, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun ariyah ada tiga, yaitu:
1. Orang yang berakad (Mu'ir atau peminjam dan Musta'ir atau orang yang meminjamkan)
    Orang yang berakad disyaratkan harus sudah baligh dan berakal. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, tetapi ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil, dan bukan orang bodoh.
2. Objek yang diakadkan, yaitu barang dan manfaatnya
    Objek yang diakadkan disyaratkan barang yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan oleh peminjam. Barang dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, dan sebagainya.
3. Shighat, yakni ijab qabul atau serah terima
    Shighat atau ijab qabul harus jelas, tidak mengandung lafadz ganda, dan yang dipahami oleh orang yang berakad.

Ragam Akad al-'Ariyah

  1. Makna akad i'arah secara hakiki (bukan majazi), sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mabsuth adalah akad pinjaman barang yang dapat dimanfaatkan tanpa rusak atau hilang. 
  2. Konsekuensi akad i'arah, menurut ulama Hanafiah adalah bahwa penerima pinjaman disamping secara langsung berhak memanfaatkan barang pinjaman berhak pula mengalihkan haknya kepada pihak lain dengan cara menyewakannya. Sedangkan ulama Syafi'i dan Hanabilah, penerima pinjaman hanya berhak memanfaatkan barang pinjaman untuk dirinya (tidak boleh dialihkan kepada orang lain).
  3. Dalam perspektif ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, pemanfaatan barang pinjaman oleh peminjam bersifat terbatas, yakni bergantung pada izin dari pemiliknya. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa untuk pemanfaatan barang pinjaman bergantung pada bentuk akad pinjaman apakah bersifat tidak terbatas (muthlaq) atau terbatas (muqayyad). 
  4. Pinjaman tidak terbatas adalah akad pinjaman tanpa ada penjelasan dan/atau kepastian mengenai apakah barang pinjaman akan digunakan oleh dirinya sendiri, atau pihak lain tanpa ada kesepakatan mengenai cara pemanfaatan barang pinjaman tersebut serta tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat penggunaan barang pinjaman. Sedangkan pinjaman terbatas (muqayyad) adalah akad pinjaman yang disertai kejelasan atau kepastian mengenai apakah pinjaman akan menggunakan barang pinjaman oleh dan untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain; adanya kesepakatan mengenai cara memanfaatkan barang pinjaman atau adanya pembatasan waktu dan tempat penggunaan barang pinjaman.

Perbedaan Antara Akad al-'Ariyah, Qardh, dan Wadi'ah

 
  1. Akad qardh disebut juga akad pinjam-meminjam. Obyek yang dipinjam adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh peminjam, sedangkan harta peminjam dikembalikan/diganti dengan harta yang sejenis (yang sama nilainya).
  2. Akad wadi'ah, merupakan akad penitipan barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyah maupun harta ghair mitsli. Harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan. Yang wajib dikembalikan kepada penitip (pemilik) adalah harta asal, sebagaimana harta sedia kala (tidak diganti dengan benda mitsli lainnya).
  3. Akad al-'ariyah disebut juga akad pinjaman. Obyeknya yang dipinjam adalah barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyat maupun harta ghair mitsli. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh peminjam, sedangkan harta peminjam dikembalikan (tidak diganti dengan harta yang sejenis).
  4. Akad ariyah berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut. 
  5. Akad al-'ariyah merupakan akad yang bersifat tabarru' (sosial) karena dalam akad ini pemilik barang yang dipinjamkan tidak memperoleh imbalan atas manfaat barang pinjaman yang diterima pihak peminjam. 


Al-'Ariyah dan Tanggung Jawabnya

Kajian tentang tanggung jawab peminjam karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dilengkapi dengan kajian kewajiban peminjam untuk mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang yang bersifat kontraktual (diperjanjikan dalam akad), yaitu bagaimana bila pemberi pinjaman sepakat bahwa peminjam wajib mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang pinjaman.
Pada intinya, barang pinjaman yang bersifat amanah bagi peminjam. Oleh karena itu, peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang karena kelalaian. 

Dalam kitab al-Bada'i al-Shama'i dijelaskan tentang wajibnya peminjam mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dalam kondisi berikut:
  • Peminjam secara sengaja menghilangkan barang pinjaman, misalnya dengan cara membuangnya, meminta pihak lain untuk mencurinya, atau tidak menyerahkannya kepada pemiliknya setelah berakhirnya masa pinjaman.
  • Lalai dalam menjaga barang pinjaman pada saat dimanfaatkan atau disewakan.
  • Menggunakannya untuk sesuatu yang tidak disepakati (mukhalafat asy-syuruth) atau untuk sesuatu penggunaan yang tidak umum untuk barang pinjaman tersebut.

Berakhirnya Akad al-'Ariyah

  1. Pemberi pinjaman meminta agar barang pinjaman dikembalikan karena akad pinjaman termasuk ghairu lazim, sehingga dapat berakhir karena pembatalan (fasakh).
  2. Peminjam mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang disepakati berakhir atau belum.
  3. Peminjam dan/atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah), taghoyur (akalnya berubah-ubah) maupun karena berada di bawah pengampunan (dihukum).
  4. Meninggalnya pinjaman atau pemberi pinjaman karena akad pinjaman (sebagian jumhur ulama) merupakan izin pemanfaatan. Izin berakhir karena meninggalnya pemberi izin dan/atau penerimanya.
  5. Taflis, bangkrutnya pemberi pinjaman. Pihak yang bangkrut tidak boleh mengabaikan manfaat benda miliknya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemberi utang kepadanya.


Kesimpulan (Opini Pribadi)

Jadi, berdasarkan penjelasan tentang 'ariyah di atas, saya berpendapat bahwa 'ariyah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah yang bertujuan untuk membantu dan menolong sesama manusia, benar-benar murni dilakukan demi kemaslahatan umat manusia tanpa mengharap imbalan apapun melainkan mengharap ridho Allah SWT. Dengan adanya ariyah ini, banyak kalangan yang kurang mampu akan terbantu, selain itu ariyah juga memunculkan sikap dermawan dan saling tolong-menolong terhadap orang-orang yang katakanlah mampu dari segi materinya. Sehingga kebaikan dapat dirasakan oleh semua kalangan, tidak hanya yang diberi pinjaman akan senang karena terbantu, melainkan juga dari pihak peminjam yang merasa puas karena dapat membantu sesama yang sedang membutuhkan bantuannya.






Jumat, 20 November 2020

Hadits tentang Qardh

HADITS TENTANG QARDH


A. Pengertian Qardh
        Al-Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qaradha (قرض) yang sinonimnya qatha'a (قطع) yang      berarti memotong. Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Diartikan demikian, karena         orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang      menerima utang (muqtaridh). Dikatakan qaradhtu asy-syai'a bil-miqradh, aku memutus sesuatu             dengan gunting. 
       Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Qardh merupakan pemberian             pinjaman kepada orang lain yang dapat ditagih atau dikembalikan segera tanpa mengharapkan                imbalan dalam rangka tolong menolong, dengan kata lain pinjaman tersebut kembali seperti semula        tanpa penambahan atau pengurangan dalam pengembaliannya.

B. Landasan Hukum Qardh

...مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِقَهُ لَهُ اَضْعَافًاكَثِيْرَةً
    Artinya:
    "Barang siapa yang meminjami Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartaya di jalan 
    Allah), maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak..." 
    (Q.S. Al-Baqarah:245)
    
    Pada ayat ini, Allah SWT. menyerupakan amal shalih dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta
    yang dipinjamkan, dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran 
    hutang. 
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمٌا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً
 (رواه ابن ماجه و ابن حبان)

    Artinya:
    "Dari Ibnu Mas'ud RA. bahwa nabi SAW bersabda: Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman 
    kepada orang muslim lainnya sebanyak dua kali pinjaman, melainkan layaknya ia telah 
    menyedekahkan satu kali." (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

    Hadits ini menjelaskan bahwasannya qardh lebih diutamakan dari sedekah, karena orang yang
    berutang adalah orang yang benar-benar membutuhkan.

    Berdasarkan ijma', para ulama menyatakan bahwa qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub 
    (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang
    berutang). Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan 
    dan bantuan saudaranya. 

C. Rukun dan Syarat al-Qardh
     Rukun qardh ada tiga, yaitu:
     1. Akid (muqridh dan muqtaridh), disyaratkan:
         - Muqridh harus seorang ahliyat at-tabarru', maksudnya orang yang mempunyai kecakapan dalam
           menggunakan hartanya secara mutlak menurut pandangan syariat.
         - Tidak adanya paksaan seorang muqridh dalam memberikan bantuan hutang harus didasarkan                atas keinginannya sendiri dan tidak dan tidak ada paksaan dari orang lain.
         - Muqtaridh atau orang yang berhutang haruslah orang yang ahliyah mu'amalah, artinya orang 
           tersebut harus baligh, berakal waras, dan tidak mahjur (bukan orang yang oleh syariat tidak 
           diperkenankan mengatur sendiri hartanya karena faktor-faktor tertentu).
     2. Qardh (barang yang dipinjamkan)
         - Barang yang dihutang harus sesuatu yang bisa diakad salam. Segala sesuatu yang bisa diakad 
           salam, juga sah dihutangkan, begitu juga sebaliknya.
         - Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak
           ada kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta.
     3. Ijab qabul
         Ungkapan serah terima harus jelas dan bisa dimengerti oleh kedua belah pihak, sehingga tidak
         menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari. Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali 
         dengan ijab dan qabul seperti halnya dalam jual beli.

D. Ketentuan-Ketentuan dalam Qardh
     Ketentuan qardh secara umum menurut Fatwa DSN No. 19 /DSN.MUI/IV/2001:
     1. Al-qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
     2. Nasabah al-qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah
         disepakati bersama.
     3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
     4. Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah bila bilamana dipandang 
         perlu.
     5. Nasabah al-qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) senang sukarela kepada Lembaga
         Keuangan Syariah selama tidak diperjanjikan di awal.
     6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang 
         telah disepakati dan Lembaga Keuangan Syariah telah memastikan ketidakmampuannya,
         Lembaga Keuangan Syariah dapat:
         - Memperpanjang jangka waktu pengembalian atau
         - Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

E. Aplikasi Qardh di Perbankan Syariah
    Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu:
    1. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk 
        memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum 
        keberangkatan haji.
    2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi 
        keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan
        sesuai waktu yang ditentukan.
    3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan 
        si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli ijarah atau bagi hasil.
    4. Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk 
        memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya 
        secara cicilan melalui pemotongan gajinya.


    Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
    NO:19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-qardh yang memperbolehkan untuk pemberi pinjaman agar 
    membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan besarnya biaya administrasi 
    sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah 
    dana qardh yang diberikan.



Hadits tentang Wakalah

  Wakalah dan Haditsnya Pengertian Wakalah      Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan uru...