Cari Blog Ini

Senin, 21 Desember 2020

Hadits tentang Salam dan Istishna'

Salam dan Istishna'

1. As-Salam

Pengertian

Secara bahasa, as-salam atau as-salaf berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.
Para fuqaha (ahli hukum islam) menamainya dengan al-mahawi’ij yang artinya “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu.

Landasan Hukum

Dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al-Baqarah ayat 282.
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُسَمًّى فَكْتُبُوْهُ
Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al-Baqarah. QS. 2 : 282). 

اَشْهَدُ اَنَّ السَّلَفِ الْمَضْمُوْنَ اِلَى اَجَلٍ مُسَمَّى قَدْ احله الله فِي الْكِتَابِ وَ اُذُنَ فِيْهِ, قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ اَلْاَيَة. رَوَاه الشَّافِعِي وَ الطَّبَرِيْ عَبْدُ الرَّزَاق وَ ابْنُ اَبِي شَيْبَة وَ الْحَاكِم وَ الْبَيْهَقِي وَ صَحِّحَهُ الْاَلْبَانِي
Artinya: "Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf yang terjmain hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (H.R. Asy-Syafi'i, at-Thobary, Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah, al-Hakim dan al-Baihaqy, dan dishohihkan oleh al-Albaniy)
Di antara dalil yang menguatkan penafsiran sahabat Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu di atas ialah akhir dari ayat tersebut yang berbunyi:

وَلَا تَسْاَمُوْا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلَى اَجَلِهِ ذَلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ وَ اَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَ اَدْنَى اَلَّا تَرْتَابُوْا اِلَّا اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً جَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَا
Artinya: "Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu'amalah itu) kecuali bila mu'amalah itu berupa perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tiada dosa atasmu bila kamu tidak menulisnya." (Q.S. Al-Baqarah:282)


عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا - قَالَ : قَدِمَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَ السَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: (مَنْ اَسْلَفَ فِيْ تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ, اِلَى اَجَلٍ مَعْلُوْمٍ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَ لِلْبُخَرِي
Artinya: Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata, "Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui." (H.R. Muttafaqun 'alaih)

Berdasarkan ijma', semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam.

Rukun dan Syarat Salam

Salam memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:
  1. Orang yang berakad (muslam atau pembeli dan muslam ilaih atau penjual). Adapun syarat orang yang berakad harus baligh dan berakal.
  2. Objek akad dalam jual beli salam (ra’sul mal atau modal/uang dan muslam fiihi atau barang), yaitu barang yang dipesan harus jelas ciri-cirinya, harganya dan jelas waktu penyerahannya ketika akad berlangsung. Jadi pembayaran dilakukan pada waktu akad, karena jual beli ini berttujuan untuk membantu pedagang yang tidak punya modal.
  3. Sighat atau ijab dan qabul (serah terima). Pada ijab dan qabul haruslah dengan pernyataan yang jelas dan dipahami kedua belah pihak. Tidak mengandung makna ganda.
Ada beberapa perbedaan antara jual beli salam dengan jual beli biasa, hal ini dijelaskan Fathi ad-Durani sebagaimana yang dikutip oleh Nasrun Haroen yaitu:
  1. Harga barang dalam jual beli salam tidak boleh dirubah dan harus diserahkan seluruhnya pada waktu akad berlangsung. Berbeda dengan jual beli biasa, pembeli boleh saja membayar barang yang dia beli dengan cara utang kepada penjual.
  2. Harga yang diserahkan berbentuk uang tunai, bukan berbentuk cek mundur. Jika berbentuk cek mundur maka jual belinya batal, karena tidak tercapai tujuan jual beli salam yaitu untuk membantu produsen.
  3. Menurut Hanafiyah, harga beli boleh dijamin oleh seseorang yang hadir sewaktu akad dan penjamin ini bertanggung jawab membayar ketika itu juga. Akan tetapi menurut Zufar ibn Huzail pakar fiqh Hanafi, harga itu tidak boleh dijamin oleh seseorang, karena adanya jaminan akan menunda pembayaran yang harus dibayarkan tunai ketika akad. (Haroen, 2000: 151)

Teknik Pelaksanaan Salam

Praktek salam di bank syariah, bank membayar harga barang pada saat akad. Bank kemudian akan menerimanya pada waktu yang ditentukan melalui wakil yang ditunjuknya. Bank kemudian menjual kembali barang tersebut dengan harga yang ditangguhkan lebih tinggi dari harga awal melalui model salam. Maka bank menerima keuntungan.
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.
Syarat utama salam adalah barang atau hasil produksi yang akan diserahkan kemudian tersebut dapat ditentukan spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Apabila ternyata nantinya barang yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan di awal maka nasabah harus bertanggung jawab dengan cara menyediakan barang sejenis yang sesuai dengan spesifikasi atau mengembalikan seluruh uang yang telah diterima. 

2. Istishna'

Pengertian

Istishna' secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Adapun istishna' secara terminologi adalah transaksi terhadap barang dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), istishna' adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan penjual.
Jual beli istishna’ menyerupai jual beli salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan di awal, di tengah atau di akhir, baik dengan cara kontan atau dengan beberapa kali (termin) pembayaran dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan.

Landasan Hukum

Dasar hukum jual beli istishna' adalah sama dengan jual beli salam, karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barang-barang yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual beli istishna' barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi.
Karena istishna’ merupakan akad jual beli, maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada jual beli juga berlaku pada istishna’. Atas dasar ini, maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istishna' itu tidak boleh, karena istisna merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan.
Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istihsan karena alasan berikut:
  1. Masyarakat telah mempraktikkan istishna’ secara luas tanpa ada keberatan.
  2. Dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama.
  3. Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Dalam hadits dinyatakan bahwa:

عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ اَرَادَ اَنْ يَكْتُبَ اِلَى الْعَجَمِ فَقِيْلَ لَهُ اِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُوْنَ اِلَّا كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتَمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ. قَالَ: كَاَنَّى اَنْظُرُ اِلَى بَيَاضِهِ فِيْ يَدِهِ. (رَوَاهُ مُسْلِم  
Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR. Muslim)

Perbuatan Nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. Bahkan istishna' sesuai kaidah fiqh:
اَلْاَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِ الْاِبَاحَةُ اِلَّا اَنْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا 
Artinya: "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

Rukun dan Syarat Istishna'

Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu : 
  1. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli) adalah pihak uyang membutuhkan dan memesan barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan. 
  2. Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman), dan
  3. Shighah, yaitu ijab dan qobul.
Sedangkan syarat istishna’ dapat disebutkan sebagai berikut:
  1. Kedua belah pihak yang bertransaksi berakal, cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
  2. Ridha/kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
  3. Shani’ menyatakan kesanggupan untuk membuat barang.
  4. Apabila bahan baku berasal dari mushtasni’, maka akad ini bukan lagi istishna’,tetapi berubah menjadi ijarah.
  5. Apabila isi akad mensyaratkan shani’ hanya bekerja saja, maka akad ini juga bukan lagi istishna’, tetapi berubah menjadi Ijarah.
  6. Mashnu’ (barang yang dipesan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya.
  7. Barang yang dipesan tidak termasuk kategori yang dilarang syara’ (najis, haram/tidak jelas) atau menimbulkan kemudharatan (menimbulkan maksiat).

Teknis Pelaksanaan Istishna'


Syarat utama istishna’ adalah sama dengan pembiayaan salam yakni spesifikasi barang dapat ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna’ dilakukan untuk membiayai pembangunan konstruksi. Contoh, Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak Badu melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai dikerjakan.
Melalui fasilitas istishna’, bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka produk tersebut statusnya menjadi milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pemberian fasilitas istishna‘ tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. 
Dalam praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna‘ paralel atau istishna‘ wal murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi istishna‘ wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna‘) dengan harga jual (murabahah atau dari hasil sewa (ijarah)

Pendapat Pribadi

Menurut saya, antara salam dan istishna' sama-sama dibolehkan, selama tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam jual beli Islam. Perbedaan antara keduanya hanya pada penyerahan uang dan ketersediaan barang yang diakadkan. Pada sistem salam, penyerahan uang terhadap barang yang dipesan harus dibayarkan di awal perjanjian, sedangkan pada sistem istishna' penyerahan uang boleh di awal, di tengah, maupun di akhir setelah akad selesai. Ketersediaan barang pada sistem salam adalah sudah ada meskipun tidak ada di tempat si penjual, sedangkan istishna' barang yang diakadkan belum ada dan belum diproduksi. Meskipun demikian, kedua sistem jual beli ini sangat membantu masyarakat yang kurang mampu dalam hal perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang memang harus dibeli. Sehingga, jual beli salam dan istishna' bisa diterapkan dalam kegiatan perekonomian sehari-hari untuk membantu sesama manusia yang sedang membutuhkan, tanpa adanya pihak yang dirugikan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hadits tentang Wakalah

  Wakalah dan Haditsnya Pengertian Wakalah      Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan uru...