Cari Blog Ini

Senin, 30 November 2020

Hadits tentang 'Ariyah

 HADITS TENTANG 'ARIYAH

Al-'ariyah berasal dari bahasa Arab اَلْعَارِيَةُ diambil dari kata َعَار yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat, al-'ariyah berasal dari kata التَّعَاوُر yang artinya sama dengan التَّنَاوُل اَوْ التَّنَاوُب artinya saling tukar-menukar, yaitu dalam tradisi pinjam-meminjam. 

Sedangkan menurut istilah, 'ariyah dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zatnya tetap dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

Landasan Hukum 'Ariyah

Q.S. Al-Ma'idah: 2
 وَتَعَاوَنُوا عَلىَ الْبِرِّ وَ التَّقْوَى - وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى الْاِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ - وَالتَّقُوا اللهَ - اِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya:
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya." (Q.S. Al-Ma'idah:2)

وَعَنْ يَعْلَى بْنُ اُمَيَّة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م.: اِذَا اَتَتْكَ رُسُلِي فَاَعْطِهِمْ ثَلَاثِيْنَ دِرْعًا, قُلْتُ: يَا رَسُوْلُ اللهِ! اَعَارِيَةٌ 
(مَضْمُوْنَةٌ اَوْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ؟ قَالَ: بَلْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ. (رَوَاهُ اَحْمَد, وَ اَبُو دَاوُد, وَ النَّسَائِي, وَ صَحِّحَهُ اِبْنُ حِبَّان
Artinya:
"Dan dari Ya'la Ibnu Umayyah radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah SAW. bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: "Wahai Rasulullah, ataukah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan?" Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." (H.R. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan disahihkan Ibnu Hiban)

Dalam konteks hadits tersebut terdapat dua kata yang menunjukkan arti yang berbeda, yakni madhmunah dan mu'adah. Yang dimaksud dengan madhmunah adalah benda yang dipinjam akan diganti (dibayar) dengan nilainya apabila rusak. Sedangkan yang dimaksud dengan kata mu'adah adalah benda pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemiliknya dengan wujud bendanya secara utuh, tidak diganti dengan nilainya apabila rusak (barang pinjaman diperbaiki terlebih dahulu apabila rusak, bukan diganti dengan barang lain atau dibayar harganya).

Rukun dan Syarat 'Ariyah

Secara umum, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun ariyah ada tiga, yaitu:
1. Orang yang berakad (Mu'ir atau peminjam dan Musta'ir atau orang yang meminjamkan)
    Orang yang berakad disyaratkan harus sudah baligh dan berakal. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, tetapi ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil, dan bukan orang bodoh.
2. Objek yang diakadkan, yaitu barang dan manfaatnya
    Objek yang diakadkan disyaratkan barang yang bermanfaat dan dapat dimanfaatkan oleh peminjam. Barang dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, dan sebagainya.
3. Shighat, yakni ijab qabul atau serah terima
    Shighat atau ijab qabul harus jelas, tidak mengandung lafadz ganda, dan yang dipahami oleh orang yang berakad.

Ragam Akad al-'Ariyah

  1. Makna akad i'arah secara hakiki (bukan majazi), sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mabsuth adalah akad pinjaman barang yang dapat dimanfaatkan tanpa rusak atau hilang. 
  2. Konsekuensi akad i'arah, menurut ulama Hanafiah adalah bahwa penerima pinjaman disamping secara langsung berhak memanfaatkan barang pinjaman berhak pula mengalihkan haknya kepada pihak lain dengan cara menyewakannya. Sedangkan ulama Syafi'i dan Hanabilah, penerima pinjaman hanya berhak memanfaatkan barang pinjaman untuk dirinya (tidak boleh dialihkan kepada orang lain).
  3. Dalam perspektif ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, pemanfaatan barang pinjaman oleh peminjam bersifat terbatas, yakni bergantung pada izin dari pemiliknya. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa untuk pemanfaatan barang pinjaman bergantung pada bentuk akad pinjaman apakah bersifat tidak terbatas (muthlaq) atau terbatas (muqayyad). 
  4. Pinjaman tidak terbatas adalah akad pinjaman tanpa ada penjelasan dan/atau kepastian mengenai apakah barang pinjaman akan digunakan oleh dirinya sendiri, atau pihak lain tanpa ada kesepakatan mengenai cara pemanfaatan barang pinjaman tersebut serta tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat penggunaan barang pinjaman. Sedangkan pinjaman terbatas (muqayyad) adalah akad pinjaman yang disertai kejelasan atau kepastian mengenai apakah pinjaman akan menggunakan barang pinjaman oleh dan untuk dirinya sendiri atau untuk pihak lain; adanya kesepakatan mengenai cara memanfaatkan barang pinjaman atau adanya pembatasan waktu dan tempat penggunaan barang pinjaman.

Perbedaan Antara Akad al-'Ariyah, Qardh, dan Wadi'ah

 
  1. Akad qardh disebut juga akad pinjam-meminjam. Obyek yang dipinjam adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh peminjam, sedangkan harta peminjam dikembalikan/diganti dengan harta yang sejenis (yang sama nilainya).
  2. Akad wadi'ah, merupakan akad penitipan barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyah maupun harta ghair mitsli. Harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan. Yang wajib dikembalikan kepada penitip (pemilik) adalah harta asal, sebagaimana harta sedia kala (tidak diganti dengan benda mitsli lainnya).
  3. Akad al-'ariyah disebut juga akad pinjaman. Obyeknya yang dipinjam adalah barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyat maupun harta ghair mitsli. Harta pinjaman dimanfaatkan oleh peminjam, sedangkan harta peminjam dikembalikan (tidak diganti dengan harta yang sejenis).
  4. Akad ariyah berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut. 
  5. Akad al-'ariyah merupakan akad yang bersifat tabarru' (sosial) karena dalam akad ini pemilik barang yang dipinjamkan tidak memperoleh imbalan atas manfaat barang pinjaman yang diterima pihak peminjam. 


Al-'Ariyah dan Tanggung Jawabnya

Kajian tentang tanggung jawab peminjam karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dilengkapi dengan kajian kewajiban peminjam untuk mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang yang bersifat kontraktual (diperjanjikan dalam akad), yaitu bagaimana bila pemberi pinjaman sepakat bahwa peminjam wajib mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang pinjaman.
Pada intinya, barang pinjaman yang bersifat amanah bagi peminjam. Oleh karena itu, peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang karena kelalaian. 

Dalam kitab al-Bada'i al-Shama'i dijelaskan tentang wajibnya peminjam mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dalam kondisi berikut:
  • Peminjam secara sengaja menghilangkan barang pinjaman, misalnya dengan cara membuangnya, meminta pihak lain untuk mencurinya, atau tidak menyerahkannya kepada pemiliknya setelah berakhirnya masa pinjaman.
  • Lalai dalam menjaga barang pinjaman pada saat dimanfaatkan atau disewakan.
  • Menggunakannya untuk sesuatu yang tidak disepakati (mukhalafat asy-syuruth) atau untuk sesuatu penggunaan yang tidak umum untuk barang pinjaman tersebut.

Berakhirnya Akad al-'Ariyah

  1. Pemberi pinjaman meminta agar barang pinjaman dikembalikan karena akad pinjaman termasuk ghairu lazim, sehingga dapat berakhir karena pembatalan (fasakh).
  2. Peminjam mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang disepakati berakhir atau belum.
  3. Peminjam dan/atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah), taghoyur (akalnya berubah-ubah) maupun karena berada di bawah pengampunan (dihukum).
  4. Meninggalnya pinjaman atau pemberi pinjaman karena akad pinjaman (sebagian jumhur ulama) merupakan izin pemanfaatan. Izin berakhir karena meninggalnya pemberi izin dan/atau penerimanya.
  5. Taflis, bangkrutnya pemberi pinjaman. Pihak yang bangkrut tidak boleh mengabaikan manfaat benda miliknya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemberi utang kepadanya.


Kesimpulan (Opini Pribadi)

Jadi, berdasarkan penjelasan tentang 'ariyah di atas, saya berpendapat bahwa 'ariyah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah yang bertujuan untuk membantu dan menolong sesama manusia, benar-benar murni dilakukan demi kemaslahatan umat manusia tanpa mengharap imbalan apapun melainkan mengharap ridho Allah SWT. Dengan adanya ariyah ini, banyak kalangan yang kurang mampu akan terbantu, selain itu ariyah juga memunculkan sikap dermawan dan saling tolong-menolong terhadap orang-orang yang katakanlah mampu dari segi materinya. Sehingga kebaikan dapat dirasakan oleh semua kalangan, tidak hanya yang diberi pinjaman akan senang karena terbantu, melainkan juga dari pihak peminjam yang merasa puas karena dapat membantu sesama yang sedang membutuhkan bantuannya.






Jumat, 20 November 2020

Hadits tentang Qardh

HADITS TENTANG QARDH


A. Pengertian Qardh
        Al-Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qaradha (قرض) yang sinonimnya qatha'a (قطع) yang      berarti memotong. Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Diartikan demikian, karena         orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang      menerima utang (muqtaridh). Dikatakan qaradhtu asy-syai'a bil-miqradh, aku memutus sesuatu             dengan gunting. 
       Qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Qardh merupakan pemberian             pinjaman kepada orang lain yang dapat ditagih atau dikembalikan segera tanpa mengharapkan                imbalan dalam rangka tolong menolong, dengan kata lain pinjaman tersebut kembali seperti semula        tanpa penambahan atau pengurangan dalam pengembaliannya.

B. Landasan Hukum Qardh

...مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِقَهُ لَهُ اَضْعَافًاكَثِيْرَةً
    Artinya:
    "Barang siapa yang meminjami Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartaya di jalan 
    Allah), maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak..." 
    (Q.S. Al-Baqarah:245)
    
    Pada ayat ini, Allah SWT. menyerupakan amal shalih dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta
    yang dipinjamkan, dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran 
    hutang. 
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمٌا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلاَّ كَانَ كَصَدَقَةٍ مَرَّةً
 (رواه ابن ماجه و ابن حبان)

    Artinya:
    "Dari Ibnu Mas'ud RA. bahwa nabi SAW bersabda: Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman 
    kepada orang muslim lainnya sebanyak dua kali pinjaman, melainkan layaknya ia telah 
    menyedekahkan satu kali." (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

    Hadits ini menjelaskan bahwasannya qardh lebih diutamakan dari sedekah, karena orang yang
    berutang adalah orang yang benar-benar membutuhkan.

    Berdasarkan ijma', para ulama menyatakan bahwa qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub 
    (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang
    berutang). Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan 
    dan bantuan saudaranya. 

C. Rukun dan Syarat al-Qardh
     Rukun qardh ada tiga, yaitu:
     1. Akid (muqridh dan muqtaridh), disyaratkan:
         - Muqridh harus seorang ahliyat at-tabarru', maksudnya orang yang mempunyai kecakapan dalam
           menggunakan hartanya secara mutlak menurut pandangan syariat.
         - Tidak adanya paksaan seorang muqridh dalam memberikan bantuan hutang harus didasarkan                atas keinginannya sendiri dan tidak dan tidak ada paksaan dari orang lain.
         - Muqtaridh atau orang yang berhutang haruslah orang yang ahliyah mu'amalah, artinya orang 
           tersebut harus baligh, berakal waras, dan tidak mahjur (bukan orang yang oleh syariat tidak 
           diperkenankan mengatur sendiri hartanya karena faktor-faktor tertentu).
     2. Qardh (barang yang dipinjamkan)
         - Barang yang dihutang harus sesuatu yang bisa diakad salam. Segala sesuatu yang bisa diakad 
           salam, juga sah dihutangkan, begitu juga sebaliknya.
         - Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak
           ada kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta.
     3. Ijab qabul
         Ungkapan serah terima harus jelas dan bisa dimengerti oleh kedua belah pihak, sehingga tidak
         menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari. Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali 
         dengan ijab dan qabul seperti halnya dalam jual beli.

D. Ketentuan-Ketentuan dalam Qardh
     Ketentuan qardh secara umum menurut Fatwa DSN No. 19 /DSN.MUI/IV/2001:
     1. Al-qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
     2. Nasabah al-qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah
         disepakati bersama.
     3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
     4. Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah bila bilamana dipandang 
         perlu.
     5. Nasabah al-qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) senang sukarela kepada Lembaga
         Keuangan Syariah selama tidak diperjanjikan di awal.
     6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang 
         telah disepakati dan Lembaga Keuangan Syariah telah memastikan ketidakmampuannya,
         Lembaga Keuangan Syariah dapat:
         - Memperpanjang jangka waktu pengembalian atau
         - Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

E. Aplikasi Qardh di Perbankan Syariah
    Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu:
    1. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk 
        memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum 
        keberangkatan haji.
    2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi 
        keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan
        sesuai waktu yang ditentukan.
    3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan 
        si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli ijarah atau bagi hasil.
    4. Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk 
        memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya 
        secara cicilan melalui pemotongan gajinya.


    Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
    NO:19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-qardh yang memperbolehkan untuk pemberi pinjaman agar 
    membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan besarnya biaya administrasi 
    sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah 
    dana qardh yang diberikan.



Senin, 16 November 2020

Hadits tentang Rahn

HADITS TENTANG RAHN

Pengertian Rahn

Gadai berasal dari kata رهن - يرهن - رهنب yang mempunyai arti menggadaikan atau jaminan. Secara etimologi, rahn berarti tetap atau lestari. Rahn juga dapat diartikan sebagai al-tsubut wa ad-dawam (tetap dan kekal). Secara definisinya, al-rahn yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara' untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dari benda itu. Menurut istilah, rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.

Landasan Hukum Rahn

وَاِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوْضَةٌ

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidka memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang)." (Q.S. Al-Baqarah/2: 283)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم: اِشْتَرَى طَعَاماً مِنْ يَهُوْدِيٍّ اِلَى اَجَلٍ, وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ

"Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi." (H.R. Bukhari II/729 (no 1962) dalam kitab al-Buyu' dan Muslim III/1226 (no 1603) dalam kitab al-Musaqat)

Hadits ini sudah banyak diriwayatkan oleh para muhadditsin, sehingga hadits ini termasuk hadits yang shahih. Kuat dijadikan sebagai landasan dalam menentukan hukum ar-rahn itu sendiri. 

Para ulama telah bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan, meskipun sebagian ulama bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan yang mukim.

Rukun dan Syarat Rahn (Gadai)

1. Pelaku akad yaitu ar-rahin (orang yang menggadaikan) dan al-murtahin (orang yang menerima gadai)

    Syarat yang harus dipenuhi adalah pelaku harus sudah baligh dan berakal, tidak dipaksa, tidak dalam status pengampunan (mahjur 'alaih) dan dikenal bisa melunasi utang. 

2. Objek akad atau al-marhun (barang yang digadaikan) dan al-marhun bih (pembiayaan)

    Syarat barang yang digadaikan yaitu:

    a. Barang gadai harus bernilai dan bermanfaat, seimbang dengan utang.

    b. Barang gadai jelas dan milik sah orang yang berutang.

    c. Barang yang digadaikan tidak terkait dengan orang lain.

3. Shighat (ijab qabul)

    Syaratnya lafadznya harus jelas, jika ada syarat yang mana syarat itu bisa melancarkan akad maka diperbolehkan. Syarat-syarat dari akad rahn ada dua yaitu pemeliharaan dan penyimpanan jaminan serta penjualan jaminan. 

    Syarat-syarat rahn yang disebutkan dalam syara' ada dua macam, yaitu syarat sah dan syarat batal.

    a. Syarat sah 

        - Syarat yang disepakati pada garis besarnya, tetapi diperselisihkan dalam teknis persyaratannya,              yaitu penerimaan barang gadai. 

        - Syarat yang keperluannya masih diperselisihkan.

    b. Syarat batal

        Syarat yang haram dan dilarang berdasarkan nash, apabila seseorang menggadaikan barang dengan         syarat, ia akan membawa haknya pada waktu jatuh tempo, dan jika tidak maka barang tersebut                menjadi milik al-murtahin. Maka, menurut fuqaha' bahwa syarat tersebut mengharuskannya                    batalnya gadai.

Dilihat dari sah tidaknya akad, gadai dibagi menjadi dua yaitu rahn (gadai) shahih/lazim dan rahn (gadai) fasid.

  • Rahn shahih/lazim adalah rahn yang benar karena terpenuhi syarat dan rukunnya. Apabila sebuah akad rahn telah terpenuhi rukun dan syaratnya, akan menyebabkan adanya hutang bagi rahin (penggadai), penguasaan suatu barang yang berpindah dari rahin ke murtahin, kewajiban untuk menjaga barang gadaian bagi murtahin, biaya-biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin, sehingga murtahin berhak meminta kepada rahin.
  • Rahn fasid yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya. Pada rahn yang fasid maka tidak ada hak atau kewajiban yang terjadi, karena akad tersebut sudah rusak/batal. Karena itu, tidak ada dampak hukum pada barang gadaian, dan murtahin tidak boleh menahannya. Serta rahin hendaknya meminta kembali barang gadaiannya, jika murtahin menolak mengembalikan hingga rusak maka murtahin dianggap perampas, karena itu dia berhak mengembalikannya. Jika rahin meninggal dunia sedangkan dia masih berhutang, maka barang gadaian tersebut menjadi hak milik murtahin dengan nilai yang seimbang dengan utangnya.

Pemanfaatan Rahn

Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya. Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadai berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang bisa diambil hasilnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.

Aplikasi Rahn dalam Perbankan Syariah

Rahn tidak hanya berlaku antarpribadi melainkan juga antarpribadi dan lembaga keuangan seperti bank. Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang agunan yang dijadikan sebagai jaminan. Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah, akad perjanjian dapat dilakukan dengan akad al-qardhul hasan, al-mudharabah, maupun akad ba'i al-muqayyadah.

Hadits tentang Bagi Hasil

 Hadits tentang Bagi Hasil

 

A. Mudharabah 

        Kata mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dengan syarat bahawa hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama.

Dasar hukum mudharabah 

وَاخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِي الْاَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ...

"Dan mereka yang lain berjalan di atas bumi untuk menuntut karunia Allah SWT." (Q.S. Al-Muzammil: 20)

Kata dharaba fil ardhi menunjukkan arti perjalanan atau berjalan di bumi yang dimaksud perjalanan untuk tujuan berdagang (mudharabah).

Dari dalam hadits disebutkan bahwa:

عَنْ صَالِحِ بْنُ صُهَيْب عَنْ اَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلّم: ثَلَاث فِيْهِنَّ الْبَرَكَةَ: الْبَيْعُ اِلَى اَجَلٍ وَ الْمُقَارَضَةُ وَ اَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ (رواه ابن ماجة)

"Dari Sholeh bin Suhaib dari ayahnya berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkatan yaitu jual beli sampai batas waktu, muqaradhah (memberi modal) dan mencampurkan gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual."(H.R. Ibnu Majah)

Korelasi pada hadits ini secara konsepsi berada pada konteks keberkahan, konsep ini dapat dianalogikan sebagai konsep عن ترض ('an taradhin) yaitu sama-sama ridho. Jika keduanya sama-sama ridho, maka keberkahan akan ada didalamnya. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini dinilai sebagai hadits dhoif (lemah) dalam kitab Subulus Salam (3/76).

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa mudharabah merupakan aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan satu sama lainnya. Para ulama fiqh menetapkan bahwa aqad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syarat mudharabah, maka hukumnya boleh.

Rukun mudharabah:

1. Pelaku (pemilik modal dan pelaksana usaha)

2. Objek mudharabah (modal dan kerja)

3. Sighat atau akad (ijab qabul)

Syarat mudharabah:

1. Masing-masing pihak memenuhi persyaratan kecakapan wakalah.

2. Modal harus jelas jumlahnya, berupa tsaman (harga tukar) tidak berupa barang dagangan, harus tunai dan diserahkan seluruhnya kepada pengusaha.

3. Prosentase keuntungan dan periode pembagian keuntungan harus dinyatakan secara jelas berdasarkan kesepakatan bersama. 

4. Pengusaha berhak sepenuhnya atas pengelolaan modal tanpa campur tangan pihak pemodal. 

5. Kerugian atas modal ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemodal. Sedangkan pihak pekerja atau pengusaha sama sekali tidak menanggungnya, melainkan ia menanggung kerugian pekerjaan.

Jenis-jenis mudharabah:

1. Mudharabah muthalaqah (mudharabah secara mutlak/bebas)

    Merupakan bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modal yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Sering kali dicontohkan dengan ungkapan if'al ma syi'ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.

2. Mudharabah muqayyadah (mudharabah terikat)

    Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthalaqah, yang mana pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Dalam akad dicantumkan bahwa modal tersebut hanya untuk usaha yang telah ditentukan (terikat pada usaha tertentu).

    Jenis mudharabah muqayyadah ini dibedakan menjadi 2, yaitu:

    a. Mudharabah muqayyadah on balance sheet (investasi terikat)

        Pemilik dana membatasi atau memberi syarat kepada mudharib dalam pengelolaan dana misalnya hanya melakukan mudharabah di bidang tertentu, cara, waktu, dan tempat tertentu. 

    b. Mudharabah muqayyadah of balance sheet (investasi tidak terikat)

        Merupakan jenis mudharabah  dimana penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya. 

 Aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah:

1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan haji, kurban, dan sebagainya. 

2. Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.

3. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.

4. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah diterapkan oleh shahibul maal.

 

B.  Musyarakah 

     Secara etimologi, musyarakah berasal dari bahasa Arab شَرَكَ yang berarti bersekutu, menyetujui. Sedangkan menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama. 

Dasar hukum diperbolehkannya musyarakah, dalam Q.S. Shad ayat 24

قاَلَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ اِلَى نِعَاجِهِ وَ اِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ اِلاَّ الَّذِيْنَ اَمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ
قَلِيْلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُوْدُ اَنَّمَا فَتَنَّاهُ فاَسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَ اَنَابَ (سورة: ص, اية: 24)
          "...dan sesungguhnya orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat dzalim                      kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang              shaleh." (Q.S. Shad:24)

          Dalam hadits:
اَنَا ثَالِثُ الشَّارِكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (رواه ابو داود)
 
          "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla berfirman: Aku pihak ketiga dari dua orang yang 
          berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya." (H.R. Abu Daud dan Hakim)

          Maksud dari hadits ini adalah bahwa Allah akan menjaga dan membantu mereka yang                          bersyarikah dengan memberikan tambahan pada harta mereka dan melimpahkan berkah pada                  perdagangan mereka. Jika ada yang berkhianat, maka berkah dan bantuan tersebut dicabut                      Allah.

          Rukun dan syarat musyarakah:

          1. Pihak yang berkontrak ('aqidani), disyaratkan harus kompeten (cakap secara hukum) dalam

              bertransaksi dan memberikan atau menerima kekuasaan perwakilan.

          2. Objek yang diakadkan (ma'qud 'alaih), objek disini adalah dana (modal). Disyaratkan dana 

              harus berupa uang tunai, atau kemungkinan bila terjadi, modal berwujud asset perdagangan,

              seperti barang-barang, properti, dan lain sebagainya. Maka, harus dinilai terlebih dahulu 

              secara tunai dan disepakati para mitranya.

          3. Sighat atau ijab qabul, syarat yang harus dipenuhi antara lain adanya kejelasan maksud antara

              dua pihak, kesesuaian antara ijab dan qabul, adanya pertemuan antara ijab dan qabul

              (berurutan dan menyambung), adanya satu majelis akad dan adanya kesepakatan antara kedua 

              belah pihak, tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan.

         Macam-macam musyarakah:

         1. Musyarakah amla' yaitu dua orang atau lebih memiliki benda/harta yang bukan disebabkan

             akad musyarakah. Melainkan tercipta karena warisan, wasiat, membeli bersama, diberi

             bersama, atau kondisi lainnya. Jenis musyarakah ini dibagi menjadi dua macam yaitu 

             musyarakah ikhtiyariyah dan musyarakah ijbariyah.

         2. Musyarakah 'uqud yaitu transaksi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk berserikat 

             dalam permodalan dan keuntungan. Yang termasuk musyarakah 'uqud adalah musyarakah

             al-'inan, musyarakah al-mufawwadhah, musyarakah al-a'mal, musyarakah al-wujuh.

          Musyarakah dapat diimplementasikan dalam perbankan syariah misalnya pembiayaan proyek dan

          modal ventura. Selain itu, musyarakah diimplementasikan pada bidang pertanian seperti 

          muzara'ah, mukhabarah, dan musaqah  

          C. Sistem Bagi Hasil

               Esensi dari kontrak mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai (profit) keuntungan 

          berdasarkan akumulasi komponen dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan 

          ditentukan melalui kedua komponen ini. Risiko juga menentukan keuntungan (profit) dalam 

          komponen mudharabah. Pihak investor (shohibul maal) menanggung risiko kerugian dari modal

          yang telah diberikan. Sedangkan mudharib menanggung risiko tidak mendapatkan keuntungan 

          dari hasil usaha atau pekerjaannya telah dijalankan, dengan catatan apabila kerja sama tersebut 

          tidak menghasilkan keuntungan (profit).

              Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shohibul maal dan

          mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah

          bukan  untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional.

          Keuntungan bersih harus dibagi antara shohibul maal denghan mudharib sesuai dengan proporsi

          yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada 

          pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shohibul maal telah dibayar 

          kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai

          pembagian keuntungan dimuka.      

          Secara rinci, pembagian hasil mudharabah sebagai berikut:

          - Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman 

            pada kemungkinan untung dan rugi.

          - Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

          - Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku, kecuali diubah atas 

             kesepakatan bersama.

          - Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Jika usaha merugi, kerugian 

            akan ditanggung bersama.

          - Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan.

          - Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.     

         

Selasa, 10 November 2020

Hadits tentang Murabahah

 HADITS TENTANG MURABAHAH

 

           Secara etimologis, murabahah berasal dari kata al-ribh (الربح ) atau al-rabh  (الربح) yang memiliki arti kelebihan atau pertambahan dalam perdagangan. Dengan kata lain, al-ribh tersebut dapat diartikan sebagai keuntungan ”keuntungan, laba, faedah”. 
 
           Murabahah adalah penjualan barang seharga biaya atau biaya pokok (cost) barang tersebut ditambahkan mark-up atau margin keuntungan yang disepakati. 
         
           Definisi murabahah (secara fiqh) adalah akad jual-beli atas barang tertentu dimana dalam jua-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yeng diperjual belikan termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
 

 

Dalam Q.S. Al-Baqarah {2}: 275 diterangkan bahwa:

                                                  وأَحَلَّ ٱللَّه ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا 

 

Artinya: 
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..."
 
 اَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم قَالَ : ثَلَاثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَة: الْبَيْعُ اِلَى اَجَلٍ
 
وَالْمُقَارَضَة, وَ خَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ (رواه ابن ماجه عن صهيب) 
 
Artinya:
"Dari Shuhaib ar-Rumi RA bahwa Rasulullah SAW. bersabda: tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual."(H.R. Ibnu Majah)
 

Rukun dan Syarat Murabahah

  1. Penjual (بَيع): cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
  2. Pembeli (مشتري): cakap hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
  3. Barang yang diperjualbelikan (مبع): tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas.
  4. Harga barang (ثمن): harus dinyatakan secara transparan (harga pokok dan komponen keuntungan) dan cara pembayarannya disebutkan dengan jelas.
  5. Ijab qabul: pernyataan serah terima harus jelas dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak yang berakad.

Teknik Pelaksanaan Murabahah

1. Murabahah bil wakalah
 
Penjelasan:
  • Nasabah mengajukan pembiayaan murabahah bil wakalah kepada koperasi dengan membawa persyaratan. Lembaga Keuangan Syariah (BUS/UUS) negosiasi dan persyaratan akad wakalah untuk membeli barang akad jual beli kredit, bayar angsuran nasabah menyediakan jaminan.
  • Koperasi mewakilkan pembelian barang kepada nasabah.
  • Nasabah membeli barang dari supplier atas nama koperasi.
  • Setelah akad wakalah selesai, selanjutnya akad jual-beli secara kredit.
  • Nasabah membayar angsuran secara kredit kepada koperasi.
 2. Murabahah secara langsung
 
Penjelasan:
Ada tiga pihak yang bertransaksi disini, yaitu pemesan (nasabah), penjual barang (supplier), dan lembaga keuangan (bank). Kemudian, ada 2 akad transaksi yang dilakukan, yaitu akad jual beli antara nasabah dengan lembaga keuangan dan akad jual beli antara lembaga keuangan dengan penjual barang (supplier).
  • Nasabah mengajukan permohonan untuk pengadaan barang, dan pihak bank melakukan observasi mengenai kelayakan nasabah.
  • Jika permohonan nasabah diterima, bank melakukan transaksi jual beli kredit dengan nasabah. Nasabah bayar DP, selebihnya akan dibayar dengan cara dicicil selama rentang waktu yang ditetapkan bank.
  • Bank membeli barang ke supplier secara tunai dan agar langsung diantar ke nasabah.
  • Setelah barang dikirim, nasabah berkewajiban membayar cicilan kepada bank.
  • Bank mendapat keuntungan dari selisih antara harga supplier dengan harga nasabah.
 
Secara umum, teknik pelaksanaan murobahah sebagai berikut:
  • Bank bertindak sebagai penjual.
  • Nasabah bertindak sebagai pembeli.
  • Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan.
  • Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.

 
 

Hadits tentang Wakalah

  Wakalah dan Haditsnya Pengertian Wakalah      Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan uru...