HADITS TENTANG RAHN
Pengertian Rahn
Gadai berasal dari kata رهن - يرهن - رهنب yang mempunyai arti menggadaikan atau jaminan. Secara etimologi, rahn berarti tetap atau lestari. Rahn juga dapat diartikan sebagai al-tsubut wa ad-dawam (tetap dan kekal). Secara definisinya, al-rahn yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara' untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian utang dari benda itu. Menurut istilah, rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.
Landasan Hukum Rahn
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوْضَةٌ
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidka memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang)." (Q.S. Al-Baqarah/2: 283)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّم: اِشْتَرَى طَعَاماً مِنْ يَهُوْدِيٍّ اِلَى اَجَلٍ, وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ
"Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi." (H.R. Bukhari II/729 (no 1962) dalam kitab al-Buyu' dan Muslim III/1226 (no 1603) dalam kitab al-Musaqat)
Hadits ini sudah banyak diriwayatkan oleh para muhadditsin, sehingga hadits ini termasuk hadits yang shahih. Kuat dijadikan sebagai landasan dalam menentukan hukum ar-rahn itu sendiri.
Para ulama telah bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan, meskipun sebagian ulama bersilang pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan yang mukim.
Rukun dan Syarat Rahn (Gadai)
1. Pelaku akad yaitu ar-rahin (orang yang menggadaikan) dan al-murtahin (orang yang menerima gadai)
Syarat yang harus dipenuhi adalah pelaku harus sudah baligh dan berakal, tidak dipaksa, tidak dalam status pengampunan (mahjur 'alaih) dan dikenal bisa melunasi utang.
2. Objek akad atau al-marhun (barang yang digadaikan) dan al-marhun bih (pembiayaan)
Syarat barang yang digadaikan yaitu:
a. Barang gadai harus bernilai dan bermanfaat, seimbang dengan utang.
b. Barang gadai jelas dan milik sah orang yang berutang.
c. Barang yang digadaikan tidak terkait dengan orang lain.
3. Shighat (ijab qabul)
Syaratnya lafadznya harus jelas, jika ada syarat yang mana syarat itu bisa melancarkan akad maka diperbolehkan. Syarat-syarat dari akad rahn ada dua yaitu pemeliharaan dan penyimpanan jaminan serta penjualan jaminan.
Syarat-syarat rahn yang disebutkan dalam syara' ada dua macam, yaitu syarat sah dan syarat batal.
a. Syarat sah
- Syarat yang disepakati pada garis besarnya, tetapi diperselisihkan dalam teknis persyaratannya, yaitu penerimaan barang gadai.
- Syarat yang keperluannya masih diperselisihkan.
b. Syarat batal
Syarat yang haram dan dilarang berdasarkan nash, apabila seseorang menggadaikan barang dengan syarat, ia akan membawa haknya pada waktu jatuh tempo, dan jika tidak maka barang tersebut menjadi milik al-murtahin. Maka, menurut fuqaha' bahwa syarat tersebut mengharuskannya batalnya gadai.
Dilihat dari sah tidaknya akad, gadai dibagi menjadi dua yaitu rahn (gadai) shahih/lazim dan rahn (gadai) fasid.
- Rahn shahih/lazim adalah rahn yang benar karena terpenuhi syarat dan rukunnya. Apabila sebuah akad rahn telah terpenuhi rukun dan syaratnya, akan menyebabkan adanya hutang bagi rahin (penggadai), penguasaan suatu barang yang berpindah dari rahin ke murtahin, kewajiban untuk menjaga barang gadaian bagi murtahin, biaya-biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab rahin, sehingga murtahin berhak meminta kepada rahin.
- Rahn fasid yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya. Pada rahn yang fasid maka tidak ada hak atau kewajiban yang terjadi, karena akad tersebut sudah rusak/batal. Karena itu, tidak ada dampak hukum pada barang gadaian, dan murtahin tidak boleh menahannya. Serta rahin hendaknya meminta kembali barang gadaiannya, jika murtahin menolak mengembalikan hingga rusak maka murtahin dianggap perampas, karena itu dia berhak mengembalikannya. Jika rahin meninggal dunia sedangkan dia masih berhutang, maka barang gadaian tersebut menjadi hak milik murtahin dengan nilai yang seimbang dengan utangnya.
Pemanfaatan Rahn
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya. Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadai berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang bisa diambil hasilnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Aplikasi Rahn dalam Perbankan Syariah
Rahn tidak hanya berlaku antarpribadi melainkan juga antarpribadi dan lembaga keuangan seperti bank. Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang agunan yang dijadikan sebagai jaminan. Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah, akad perjanjian dapat dilakukan dengan akad al-qardhul hasan, al-mudharabah, maupun akad ba'i al-muqayyadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar